Saat Usul Kenaikan Iuran BPJS Dibenturkan dengan Pemindahan Ibu Kota
Suasana di balkon ruang rapat Komisi XI DPR mulai hening saat suara Ahmad Hatari, pria berusia 64 tahun meninggi, Senin (2/9/2019). Ia bercerita tentang mirisnya kehidupan masyarakat menjangkau akses kesehatan di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia. Hatari adalah anggota Komisi XI DPR dari daerah pemilihan Maluku Utara.
Kisah miris masyarakat 3T pun ia tumpahkan di hadapan Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, hingga Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat rapat bersama Komisi XI dan IX DPR. Rapat di ruang Komisi XI DPR hari ini memang secara khusus membahas defisit BPJS Kesehatan termasuk usulan pemerintah untuk menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN).
Sepekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000. Kemudian, untuk peserta JKN kelas II harus membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.
Sementara untuk peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanannya menjadi Rp 42.000 per bulan. Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut, bila iuran tidak dinaikkan, maka defisit BPJS Kesehatan akan tembus Rp 77,8 triliun pada 2024. Namun, usulan ini disambut hujan kritik. Anggota DPR menilai kenaikan iuran JKN sama saja melempar beban ke masyarakat.
Jokowi mengatakan, total kebutuhan untuk ibu kota baru kurang lebih Rp 466 triliun. Namun, nantinya hanya 19 persen dari kebutuhan pendanaan itu akan berasal dari APBN. Berasal dari skema kerja sama pengelolaan aset yang ada di Jakarta. Sementara sisanya berasal dari Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU dan investasi langsung swasta dan BUMN.